Geraldine putriku, aku jauh
darimu, namun sekejap pun
wajahmu tidak pernah jauh dari
benakku. Tapi kau dimana? Di
Paris di atas panggung teater
megah... aku tahu ini bahwa
dalam keheningan malam, aku
mendengar langkahmu. Aku
mendengar peranmu di teater
itu, kau tampil sebagai putri
penguasa yang ditawan oleh
bangsa Tartar.
Geraldine, jadilah kau pemeran
bintang namun jika kau
mendengar pujian para pemirsa
dan kau mencium harum
memabukkan bunga-bunga yang
dikirim untukmu, waspadailah.
Duduklah dan bacalah surat
ini... aku adalah Ayahmu. Kini
adalah giliranmu untuk tampil
dan menggapai puncak
kebanggan. Kini adalah
giliranmu untuk melayang ke
angkasa bersama riuh suara
tepuk tangan para pemirsa.
Terbanglah ke angkasa namun
sekali-kali pijakkan kakimu di
bumi dan saksikanlah kehidupan
masyarakat. Kehidupan yang
mereka tampilkan dengan perut
kosong kelaparan di saat kedua
kaki mereka bergemetar karena
kemiskinan. Dulu aku juga salah
satu dari mereka.
Geraldine putriku, kau tidak
mengenalku dengan baik. Pada
malam-malam saat jauh darimu
aku menceritakan banyak kisah
kepadamu namun aku tidak
pernah mengungkapkan
penderitaan dan kesedihanku.
Ini juga kisah yang menarik.
Cerita tentang seorang badut
lapar yang menyanyi dan
menerima sedekah di tempat
terburuk di London.
Ini adalah ceritaku. Aku telah
merasakan kelaparan. Aku
merasakan pedihnya kemiskinan.
Yang lebih parah lagi, aku telah
merasakan penderitaan dan
kehinaan badut gelandangan itu
yang menyimpan gelombang
lautan kebanggaan dalam
hatinya.
Aku juga merasakan bahwa
urang recehan sedekah pejalan
kaki itu sama sekali tidak
meruntuhkan harga dirinya.
Meski demikian aku tetap hidup.
Geraldine putriku, dunia yang
kau hidup di dalamnya adalah
dunia seni dan musik. Tengah
malam saat kau keluar dari
gedung teater itu, lupakanlah
para pemuja kaya itu.
Tapi kepada sopir taksi yang
mengantarmu pulang ke rumah,
tanyakanlah keadaan istrinya.
Jika dia tidak punya uang untuk
membeli pakaian untuk anaknya,
sisipkanlah uang di sakunya
secara sembunyi-sembunyi.
Geraldine putriku, sesekali
naiklah bus dan kereta bawah
tanah. Perhatikanlah
masyarakat. Kenalilah para
janda dan anak-anak yatim
dan paling tidak untuk satu hari
saja katakan: "Aku juga bagian
dari mereka".
Pada hakikatnya kau benar-
benar seperti mereka. Seni
sebelum memberikan dua sayap
kepada manusia untuk bisa
terbang, ia akan mematahkan
kedua kakinya terlebih dahulu.
Ketika kau merasa sudah
berada di atas angin, saat itu
juga tinggalkanlah teater dan
pergilah ke pinggiran Paris
dengan taksimu.
Aku mengenal dengan baik
wilayah itu. Di situ kau akan
menyaksikan para seniman
sepertimu. Mereka berakting
lebih indah dan lebih
menghayati daripada kamu.
Bedanya di situ tidak akan kau
temukan gemerlap lampu seperti
di teatermu. Ketahuliah bahwa
selalu ada orang yang
berakting lebih baik darimu.
Geraldine putriku, aku
mengirimkan cek ini untukmu,
belanjakanlah sesuka hatimu.
Namun ketika kau ingin
membelanjakan dua franc,
berpikirlah bahwa franc ketiga
bukan milikmu.
Itu adalah milik seorang miskin
yang memerlukannya. Jika kau
menghendakinya, kau dapat
menemukan orang miskin itu
dengan sangat mudah. Jika aku
banyak berbicara kepadamu
tentang uang, itu karena aku
mengetahui kekuatan ‘anak
setan' ini dalam menipu.....
Geraldine putriku, masih ada
banyak hal yang akan aku
ceritakan kepadamu, namun aku
akan menceritakannya di
kesempatan lain.
Dan aku akhiri suratku ini
dengan,
"Jadilah manusia, suci dan satu
hati, karena lapar, menerima
sedekah, dan mati dalam
kemiskinan, seribu kali lebih
mudah dari pada kehinaan dan
tidak memiliki perasaan".